Pamit


Bentangan langit yang membiru, di tambah dengan awan putih yang berarak padu, seperti menandakan bahwa hari ini cukup cerah. Angin yang sesekali menerpa dedaunan kering, menambah yakin kalau cerahnya untuk waktu yang lama.

Aku duduk di sini. Di depanmu tepatnya. Di dalam sebuah ruangan yang menjadi favorit kita berdua. Meskipun terhalang oleh dinding kaca, kita tetap bisa melihat cerahnya langit di luar sana.

Dua cangkir cokelat yang kita pesan tadi, kuambil dan kuteguk lambat-lambat. Hm.. sudah tidak hangat. Mungkin karena terlalu lama dibiarkan. Begitu pula sepertinya dengan hatimu yang tidak lagi menghangat. Mungkin karena aku yang terlalu lama tidak memulai bicara.

Sesekali aku melihat keluar. Menghindar dari tatapan matamu yang tajam. Mencoba mencari-cari sesuatu diluar sana. Memaku mata pada sesuatu agar dapat melihat keluar berlama-lama.

Dan pada akhirnya, kata itu harus kembali kusampaikan juga. Pamit.

Ya. Aku ingin pamit darimu untuk waktu yang aku sendiri belum bisa memastikannya sampai kapan. Pamit dari ruang rasa yang sering kali membuat aku terpedaya. Pamit dari ketidakberdayaanku untuk melewati ini semua. Maaf, mungkin karena aku belum cukup dewasa.

Aku tahu, hatimu pasti sakit. Harapanmu pun akan jatuh berantakan. Padahal tadinya telah bersusah payah mencoba untuk bangkit. Aku hanya tidak ingin kamu berlama-lama menyimpan harapan yang selangit. Karena akhirnya, aku harus pamit.

Cukuplah kebersamaan kita selama ini menjadi saksi bahwa dahulu aku pernah di sini. Menjadi bagian dari cebisan kenangan yang kelak akan kau kenang. Menjadi bagian dari hidupmu yang sewaktu-waktu akan kau rindu.

Dan pada akhirnya aku tetap harus Pamit. Dan kuharap kamu mengizinkannya.

#30DWCJilid9 #Squad6 #Tulisan #Day11 #Pamit

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Kamu Bahagia?

-Sister From Another Mom- Chapter III (Contemplation)

Siluet Pemberi Bahagia