Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2017

Oktober: Hujan, Doa, LPDP

Gambar
  Apa yang paling membahagiakan dari Oktober? Yap, hari kelahiran. Hihi, karena Oktober hari kelahiran maka aku sangat senang ketika September berakhir. Itu tandanya Oktober akan datang. Dan akan bersedih ketika Oktober berakhir. Karena itu tandanya aku akan menunggu duabelas bulan ke depan. Hiks, kan jadi sedih. However,  aku tetap bersyukur karena masih diberikan waktu dan kesempatan untuk bertemu Oktober di tahun ini. Artinya Allah masih memberikan waktu untukku berkarya dan terus bersyukur atas setiap kesempatan selama 22 tahun yang lewat. Yes , sekarang aku sudah genap 23 tahun. Belum tuir kok. Hihihi Selain itu, berbeda dari Oktober yang sudah lewat (mungkin karena aku yang lupa) Oktober tahun ini sepertinya matahari sangat bersemangat sekali untuk menghujami buminya dengan sinar yang sangat panas. Sampai ada satu waktu aku berdoa, bahkan aku buat tuh tulisannya dengan judul “Ketika Hujan Tiba” (bisa dibaca di blog ini) dengan harapan hujan akan datang bulan ini. Se

Pena: Hadiah dan Pesan Kebaikan

Gambar
  This is for you^^ nanti ke ruangan kakak ya. Setelah rutinitas doa pagi usai, sebuah pesan singkat dengan kiriman gambar yang menyertainya -yang sukses membuat aku Exciterd- masuk ke dalam akun whatsapp. Uhuy, tak perlu bertanya siapa pengirimnya. Sudah jelas tertera di layar handphone “Kak Sumi”.   Tak lengah, segera kubalas dengan kalimat “ Masyaaa Allahh.. Otewe.” Sepanjang jalan menuju ke ruangannya aku memasang   wajah mesem-mesem. Mungkin saja akan tertangkap oleh kamera CCTV di ruangan AKAMA. Ah, apa perduliku? Kupercepat langkah agar segera sampai di ruangan dia. Setibanya di sana, kuketuk pintu ruangan itu dan mengucapkan salam. Dan sesudahnya masuk dengan tertawa yang tidak tertahankan. Begitu juga dengan dia dan beberapa penghuni ruangan yang lain. Well , sebenarnya ini perkara biasa di mata orang-orang . Hal yang lumrah jika ada kejutan di pagi hari. Nothing special, right? Tapi ya kembali kepada pribadinya masing-masing. Teruntuk saya sih, Ini

Laki-laki Tua

  Sore ini mendung sedang membumbung. Angin yang begitu kuat terus menerus mengusik pepohonan yang rimbun. Menggoda daunnya agar luruh dengan segera. Menerbangkan ke segala arah setelahnya. Tersebabnya membuat serakan di tengah jalanan. Membuat repot orang-orang yang melewatinya dengan berjalan. Suasana yang magis ini, mau tidak mau membuatku memikirkan laki-laki tua yang tanpa sengaja kujumpa beberapa hari lalu. Laki-laki yang selalu setia menunggu hujan tiba. Menunggunya dengan duduk sendirian di tepi jalanan. Memaku matanya  pada langit yang menggelap. Seakan ingin bertanya, apa hujan benar-benar  akan datang? Bila iya, dia akan berlama-lama berada di bawahnya. Tidak mengapa jika pakaiannya menjadi basah. Bukan masalah bila dinginnya hujan menusuk tubuh ringkihnya yang tua dengan sangat tajam. Katanya, dia ingin meluruhkan setiap kesedihan ketika hujan tiba. Menumpahkan setiap deburan rasa karena ditinggalkan secara tiba-tiba. Lantas berharap dapat membenamkannya dalam-dalam ke d

Mengemas Lelah

“Bagaimana mengemas lelah?” Begitu tanyamu ketika senja telah menggulung tirainya dengan sempurna. Tergantikan dengan tabir malam yang berwarna hitam pekat. Menampakkan kerlap-kerlip bintang dari kejauhan. Saat itu kita baru saja menyelesaikan sholat maghrib bersama-sama. Di sebuah masjid raya di tengah kota. Dan setelahnya memilih untuk duduk sebentar di terasnya. Bercakap-cakap ringan sebelum memutuskan untuk pulang. “Bagaimana mengemas Lelah?” Tanyamu lagi seperti ingin diperduli. Memintaku untuk benar-benar melihatmu dengan jeli. Menelisik setiap senti kelelahan yang telah menghabiskan waktumu hari ini.  Merenggut wajah ceriamu, juga membuat jilbab putihmu terlihat mulai lusuh, tidak rapi. “Kamu lelah?” Bukan menjawab, aku malah bertanya seakan ingin meyakinkan. Apa lelahnya sekadar pelampiasan, atau sememangnya harus segera dihilangkan dengan kalimat penghiburan. Karena aku tahu, selama ini kamu begitu bijak menyimpan semua rasa. Menjaganya agar tidak terlihat oleh semua mata

Saudara untuk didoakan

Ketika senja mulai tiba, ada untaian doa yang mengalir hangat. Langsung kudengar dari bibir seseorang yang kugelar sahabat dekat. Dia berdoa sembari menggenggam tanganku dengan erat. Mengatur setiap katanya dengan tepat. Dan kufikir, doanya adalah pinta yang sederhana. Tidak terlalu banyak meminta di dalamnya. Hanya bait-bait harapan tentang kebaikan agar segera kutemukan di masa depan. Dan disaat Maghrib usai, kejadian serupa kembali terulang. Hanya kali ini berbeda di dalam penyampaian. Kumpulan doa-doa terbaik itu hadir lewat pesan singkat di beberapa akun media sosial. Aku segera membukanya satu persatu. Memindai dengan cepat siapakah gerangan yang telah rela meluangkan waktunya dengan berdoa untukku. Lantas setelah kutahu siapa pengirimnya, segera kunikmati setiap baris katanya dengan hati yang mengharu biru. Dan sesudahnya ku Aminkan satu persatu. Sejenak aku menjadi sadar bahwasanya setiap doa yang mengalir, setiap harapan akan kebaikan yang bergulir, adalah pertanda bahwa aku

Sebagai Saudara

Dia masih setia di tempatnya. Duduk menekuri lalu lalang orang di luar sana. Terhalang oleh dinding kaca yang membatasinya. Kopi hangat yang dipesan beberapa saat yang lewat, disesapnya lambat-lambat. Hangatnya meresap, tapi tidak menyentuh hatinya. Dingin. Ya. Untuk beberapa hari ini, cuaca hatinya berubah menjadi dingin. Sedingin hujan deras yang baru saja usai. Meruapi dinding hatinya dengan kesedihan. Memanggil-manggil potongan episode kehidupan yang tidak ingin dikenang. Memenuhi jiwanya dengan rindu yang berkepanjangan. Aku sengaja memilih jarak aman. Terhindarkan dari pandangan matanya yang selalu menahan beban kesedihan. Mengamati riak wajahnya yang tidak lagi tersimpan keceriaan. Khawatir bila tiba-tiba ada tatap mata bertemu, dia akan pergi menjauh. Membawa semua sesak jiwanya yang belum habis. Mengundang kembali gerimis tipis di hatinya yang terlampau sakit. Selama ini terlalu banyak hal yang dilaluinya dengan tangisan. Apalagi ketika orang-orang terbaik di sekitarnya pam

Ketika Hujan Tiba

Entah untuk purnama yang keberapa, hujan tidak pernah datang menyapa. Seperti menghindar diri dari orang-orang yang terluka. Menyimpan bening airnya di balik awan sana. Mungkin belum saatnya saja untuk mendatangi bumi dengan dinginnya. Aku selalu berharap bahwa hujan segera tiba. Berharap dapat menikmati suasana magis itu dengan segera. Apalagi bila bening titisannya datang di saat senja. Seperti memberi ruang rasa pada setiap jiwa yang telah lelah sepanjang harinya. Mungkin saja mereka ingin menitipkan doa juga pinta. Selama ini kamu mungkin pernah mendengar, bahwa hujan adalah saat yang tepat untuk mengurai pinta. Meminta apa saja pada-Nya. Menitipkan rasa juga asa lewat bait-bait doa. Begitulah kira-kira dengan diriku ini, yang sedang berharap hujan tiba dengan segera. Karena dengan begitu aku akan memiliki waktu untuk berlama-lama di tepian jendela. Memejamkan mata, sembari menghadirkan wajah-wajah yang selama ini mengisi hari-hariku dengan cinta. Kan kurapal doa juga pinta sede

Pamit

Bentangan langit yang membiru, di tambah dengan awan putih yang berarak padu, seperti menandakan bahwa hari ini cukup cerah. Angin yang sesekali menerpa dedaunan kering, menambah yakin kalau cerahnya untuk waktu yang lama. Aku duduk di sini. Di depanmu tepatnya. Di dalam sebuah ruangan yang menjadi favorit kita berdua. Meskipun terhalang oleh dinding kaca, kita tetap bisa melihat cerahnya langit di luar sana. Dua cangkir cokelat yang kita pesan tadi, kuambil dan kuteguk lambat-lambat. Hm.. sudah tidak hangat. Mungkin karena terlalu lama dibiarkan. Begitu pula sepertinya dengan hatimu yang tidak lagi menghangat. Mungkin karena aku yang terlalu lama tidak memulai bicara. Sesekali aku melihat keluar. Menghindar dari tatapan matamu yang tajam. Mencoba mencari-cari sesuatu diluar sana. Memaku mata pada sesuatu agar dapat melihat keluar berlama-lama. Dan pada akhirnya, kata itu harus kembali kusampaikan juga. Pamit. Ya. Aku ingin pamit darimu untuk waktu yang aku sendiri belum bisa mem

Apa Kamu Bahagia?

Gambar
Sejak hari bahagia itu, aku sama sekali tidak ada mendengar kabar darimu. Berkali-kali aku menelusuri akun media sosial milikmu. Mencari tahu kabarmu, melihat foto-foto terbaru, sambil sesekali melihat siapa saja yang mampir di setiap kiriman itu. Karena biasanya kamu ada di sana. mengabarkan pada dunia dari balik jendela maya. Menyapa ramah setiap orang yang mampir di sana. Dan aku cukup senang karenanya. Itu tandanya kamu baik-baik saja. Namun, kali ini usaha itu tidak menghasilkan apa-apa. Kamu tidak ada di sana. Akun media sosial mu sepi. Terkunci. Tidak ada pesan status seperti biasa. tidak ada kabar yang menyapa, apalagi foto terbaru dengan aneka gaya. Ingin sekali aku bertanya pada teman terdekat. Kamu apa kabar? Di mana sekarang? Daaan.. Apa kamu bahagia? Ya. Deretan tanya itu menggebu-gebu untuk segera dijawab olehmu. Mewakili rasa ingin tahu yang terus mengharu biru. Dan kamu harus tahu, bahwa sebenarnya itu tanda aku sedang merindu. Aku tahu ini tidak baik. Da