Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2017

Serupa Bebijian

Aku tak berani menamakan diri layaknya pohon yang menjulang tinggi, bila ternyata akarku tidak begitu kuat untuk menahan diriku sendiri. Aku tak berani menyerupai diri seperti pohon yang berdaun rindang, bila akhirnya daun-daunku terlalu cepat berguguran bila disapa angin pun hujan, hingga membuat serakan di jalanan. Barangkali di dalam diriku ini baru terkumpul bebijian   yang tertanam dalam-dalam. Sedang belajar bertahan hidup di dalam kegelapan. Begitu takut untuk menampakkan diri di keramaian. Meski hujan kerap datang menggoda dan menawarkan sebuah kesempatan, muncullah ke permukaan. Hingga hari ini pun masih serupa bebijian. Yang belum tahu sampai kapan akan bertahan di dalam kesendirian. Namun,   bila nanti waktunya telah tiba bila hujan tak lagi datang menggoda, kupastikan akan menyeruak keluar dengan segera. Berusaha menemukan jalan untuk bertemu cahaya mentari di saat pagi maupun senja. Berusaha menjulurkan dahannya dan merimbunkan rantingnya dengan ded

Kaki Telanjang

Wahai Tuan yang menggelarkan diri dengan “Kaki Telanjang”, apa kabar? Sejatinya aku ingin bertanya, mengapa kamu memilih nama itu? karena menurutku ia terdengar aneh, pelik dan tidak masuk akal. Sebab seumur hidupku, gelar itu menyerupai seekor hewan berkaki dua. Yang selalu melengking di pagi buta. Juga kerap kusantap ketika lebaran tiba. Tapi, terlepas dari itu semua, aku jauh lebih menyenangi jika memanggilmu dengan nama Rizki Fadhila. Jauh lebih baik dan penuh makna. Sebenarnya aku mulai menyerah dengan tugas ini. Sebab mencari tahu tentangmu secara langsung, nyatanya bukan langkah yang membuatku beruntung. Mungkin karena di antara kita yang tidak pernah mulai menyapa, sudah tentu membuatmu tidak ingin dikenal dan digali begitu saja. Oleh sebab itu aku pun menahan diri untuk tidak bertanya.  Tapi Tuan, di lain kesempatan aku mendengar perihalmu dari orang-orang. Kata mereka, dirimu memang seperti itu. Kata-katamu memang sedikit, bahkan terkesan pelit. Tapi bukan berarti

Belum Bijaksana

Untuk  kali ini lidahku kelu, gerakku wagu. Barangkali kiriman  surat dari seseorang yang mengaku dirinya Raja menjadi salah satu indikasi penyebabnya. Cukup lama aku mereka-reka kata untuk membalas isinya. Menyusunnya menjadi sedemikian rupa. Untuk itu kupilih Angsana dan  Bidara menjadi tempat melepas rasa. Namun sayang, aku justru jatuh kebingungan. Isinya tiba-tiba menggantung di langit-langit perasaan. Apa jangan-jangan aku harus memulai khayalan layaknya Ratu di sebuah Negara, lalu  dengan segera membalasnya? Menyepakati tentang semua isinya? Ah, yang benar saja! Sekalipun terdengar pelik. Aku tidak mencoba untuk menampik. Mungkin akan lebih baik kubiarkan saja. Melangut bersama datangnya pawana.  Sampai tiba waktunya, akan kumasukkan ia ke dalam senarai yang harus ditebus dengan segera.  Agar impas di akhir cerita. Ah, maaf bila belum bijaksana.

Biasa Saja

Akhir-akhir ini, tanpa sengaja kita saling berpapasan di jalanan. Saling melempar senyum, tanda mengenal. Sesekali saling berbicara ringan bila ada kesempatan. Atau bila tidak, hanya menyapa dan sekadar bertanya “Apa kabar?” Aku yang awalnya biasa-biasa saja dengan setiap keadaan, tiba-tiba merasakan kenyamanan dari setiap pertemuan. Meskipun sebentar, tidak mengapa. Asalkan ada kabar. Meskipun hanya sapaan, tidak apa-apa. Aku sudah merasa senang. Paling tidak aku menjadi tahu, bahwa kamu baik-baik saja. Aku sangat menikmati perubahan ini. Karena ada seseorang yang akan bertanya perihalku di pagi hari. Melemparkan senyum jenaka yang lucu sekali. Walaupun hanya sesekali, aku sangat menghargai. Karena di luar sana tidak semua orang ingin tahu tentang kabarku sehari-hari. Tidak ingin berbagi keceriaan yang bisa mengobati luka hati.  Tapi, bila suatu hari nanti ada kesempatan, rasanya ingin sekali bertanya. Apa kau juga merasakan hal yang sama? Pertemuan tanpa sengaja akhir-akh

Jangan Berlari

Pada akhirnya kata-kata kita ditenggelamkan oleh deraian hujan yang tidak berkesudahan. Meredam semua kalimat marah. Membendung segenap rasa kecewa. Menyimpannya di dalam jiwa yang tidak lagi bercahaya.  Dan potongan-potongan dialog kita beberapa menit lalu, berputar di dalam keheningan. “ Aku ingin pergi. Lari dari keadaan dan perasaan yang sering menyesakkan ini .” Begitu katamu sebelum hujan tiba. Hanya mendung gelap di atas sana. Cangkir kopi milik kita tersisa setengah dari seharusnya.  Aku tidak membalas. Sengaja. Kufikir kamu terlalu cepat memutuskan. Amat mudah menyudahi setap urusan. Selalu berlari dari kejadian yang membuatmu kelelahan. “ Tidak dan jangan seperti itu. Ini tidak akan mendewasakan .” Balasku tajam.  “ Aku tahu, kamu pernah terjatuh. Berlutut dengan payah dan mengaku kalah. Tapi kuharap kamu tidak menyerah .” Lanjutku dengan menatapnya lembut. Aku tidak ingin menghakimi. Menurutku, kamu hanya perlu diingatkan akan setiap semangat yang dahul

Jika Boleh

Jika boleh, ingin sekali memberi jeda untuk semua aktivitas dan rutinitas. Mengasingkan diri untuk beberapa saat dari setiap pertemuan. Bersembunyi dari setiap perbincangan yang acapkali menyudutkan. Menghindar diri dari wajah-wajah yang membuat ketidaknyamanan. Lantas berlari keluar dari zona nyaman yang selama ini jauh dari kenyataan. Alasan itupun semakin menguat ketika sempat terjatuh beberapa kali, tapi tidak ada satupun orang yang datang menolongi. Hanya memandang tanpa memberi bantuan. Seperti ingin mengatakan bahwa ianya pantas untuk dirasakan. Pun ketika menangis. Ketika hati begitu teriris. Tidak ada teman karib yang datang merengkuh. Yang ada justru menjauh. Tidak ada kalimat penghiburan. Malah bening air mata jatuh berhamburan. Betapa sakitnya ketika merasakan itu semua. Ketika semua harapan tak berwujud sempurna. Ketika kebersamaan berakhir dengan lukisan luka. Ketika tangisan menjadi pelengkap duka. Lalu apa lagi hendak dikata? Hingga tiba pada satu titik, pada satu ke

Berdiri, Menata Hati

Ini cerita tentang dua anak manusia yang memiliki harap yang sama. Belajar untuk serius dalam sebuah jalinan yang kelak akan menggetarkan aras Tuhan. Menautkan setiap rasa dalam sebuah ikatan yang disebut pernikahan. Sang gadis yang menjadi pujaan  bukan main senang hatinya. Hari demi hari di lalui dengan bahagia. Setiap harinya  akan disempatkan sedikit waktun untuk membuat karya bunga yang kelak akan menjadi buah tangan ketika acara bahagia itu bermula. Tanpa mempersiapkan hatinya akan setiap kemungkinan yang siap bertandang. Sampai satu hari petaka itu tiba. Sang laki-laki memutuskan untuk tidak melanjutkan perhubungan.. Dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Sang gadis terpukul hatinya. Bayangan kebahagiaan yang akan di rajut bersama, menjadi berantakan. Jiwanya gaduh, matanya menganak sungai penuh. Dan tangisan sepertinya akan segera luruh. Sang gadis pun mengunci dirinya di dalam bilik untuk hitungan hari yang cukup lama. Tidak ingin bercerita juga bertemu orang-orang d

Perempuan Berkerudung Merah Jambu

Kemarin di saat hujan deras tiba-tiba datang menyerbu, kita tanpa sengaja bertemu. Di salah satu sudut kota tua tepatnya. Aku yang sedang terburu-buru, memilih untuk berhenti di sudut itu. menghindarkan diri dari derasnya bening hujan yang datang menderu. Aku yang baru sampai, segera mengibaskan hujung baju yang terkena hujan. Setelahnya mengedarkan pandangan ke segala arah. Mencari seseorang yang bisa di ajak berbicara. Karena hujan sepertinya akan lama. Dan aku tidak mungkin berdiam diri selama itu juga. Tetiba mataku tertuju pada sosok itu. Seorang perempuan berkerudung merah jambu. Berdiri dengan memegang sebuah buku. Gurat wajahnya menunjukkan keseriusan. Kiranya buku yang sedang dibacanya jauh menarik, di banding hujan yang datang. Apalagi orang-orang di sekitar. Aku menjadi penasaran. Buku apa yang sedang dibacanya itu. Teringin sekali untuk mendekatinya. Pura-pura berkenalan singkat saja. Mungkin sekedar bertanya “Sedang membaca buku apa?” lalu sisanya, biarkan mengalir begi

Teruslah Mengayuh

“Teruslah mengayuh!” Teriakmu dari jarak yang tidak terlalu jauh. Memandangku yang sedang belajar mengayuh sepeda baru. Yang dibelikan ibu beberapa hari lalu dalam rangka ulang tahunku yang ke tujuh. Aku menoleh ke belakang, ingin melihat wajahmu yang tadinya memberikan semangat menggebu-gebu. Baru saja kepalaku ini memutar, sontak saja teriakan itu kembali terdengar. “Hei, jangan melihat ke belakang. Nanti kau jatuh!” serunya lagi. Dan benar saja, aku pun terjatuh. Sepeda baru itu menimpa sekujur tubuhku. Padahal aku belum menolah ke belakang dengan sempurna. Lalu kamu datang menghampiriku dengan wajah khawatir. Memeriksa seluruh tubuhku layaknya seorang dokter. Mencari-cari luka akibat tertimpa sepeda baru tadi. “Kau berlebihan,” aku menepis tangannya yang menyentuh lututku. Sakit memang, tapi tidak terlalu. Hanya lecet sedikit. Selebihnya baik-baik saja. “aku baik-baik saja.” Lanjutku dengan wajah ceria. Lalu dibalas olehmu dengan dengus kekesalan. “Kan sudah kubilang, untuk

Kecewa

“Aku kecewa!” serumu dengan suara yang tercekat. Saat itu malam mulai menggelap. Kita duduk berdua di sebuah ruangan yang sudah tidak ada sesiapa. Hanya aku dan kamu. Aku mengernyit tanda tidak mengerti. Kecewa karena apa, atau dengan siapa. Wajahmu memerah. Kilatan kekecewaan tampak jelas dari bola matamu yang hitam menggelap. Menatap lurus ke depan, entah pada apa kau jatuhkan pandangan. Tapi dari jarak sedekat ini, aku belajar membaca kekecewaan yang sedang kau hadapi. Belajar menata kalimat penghiburan yang mungkin bisa mengobati. Kufikir kamu terlalu berlebihan di setiap pertemuan. Dia yang katamu baik, yang katamu mampu bekerja sama dengan apik, pada akhirnya menipumu dengan baik juga. Tanpa kamu tahu alasannya. Sehingga membuatmu mengeluarkan deraian air mata yang selama ini sudah kamu jaga. Kufikir selama ini harapanmu pun setinggi langit. Meletakkannya di atas sana tanpa perduli bahwa di sana tidak ada pegangan. Yang sewaktu-waktu membuat harapanmu jatuh berdebam, memenuhi

Pribumi: Pesan Mbah

Sesekali aku membetulkan posisi duduk, mencari bagaimana nyamannya. Sesekali kugerakkan kepala ke kiri dan ke kanan, juga jari-jari tangan yang tiba-tiba kesemutan. Tapi mata dan telingaku tidak berpindah sedikit jua. Menatap penuh hikmat, mendengar dengan cermat. Ini sebuah hikayat yang tak pernah membuatku muak atau jelak. Adalah Mbah Jiyem, mbah wedok yang senang berkisah. Meskipun hari tuanya tampak di penghujung lelah. Sedikit pun tak membuat surut semangat hatinya bertutur tentang sejarah. Udara dingin seusai hujan tadi petang bukan penghambat dia untuk kembali berkisah. Bunyi-bunyi jangkrik di sebelah rumah menjadi penyemarak suasana. Secangkir kopi hangat yang kubuat tadi tinggal setengah. Ubi rebus hasil manen di belakang rumah,  juga tinggal separuh dari aslinya. “Jadi, kamu itu harusnya bersyukur, Nduk. Masa remajamu bisa kamu isi dengan ngumpul-ngumpul bersama teman-temanmu, dan juga bisa berkarya. Lah, zaman Mbah dulu  nggak sempet mau ngumpul, ngobrol, berkarya, apalag