Pribumi: Pesan Mbah

Sesekali aku membetulkan posisi duduk, mencari bagaimana nyamannya. Sesekali kugerakkan kepala ke kiri dan ke kanan, juga jari-jari tangan yang tiba-tiba kesemutan. Tapi mata dan telingaku tidak berpindah sedikit jua. Menatap penuh hikmat, mendengar dengan cermat. Ini sebuah hikayat yang tak pernah membuatku muak atau jelak.

Adalah Mbah Jiyem, mbah wedok yang senang berkisah. Meskipun hari tuanya tampak di penghujung lelah. Sedikit pun tak membuat surut semangat hatinya bertutur tentang sejarah.

Udara dingin seusai hujan tadi petang bukan penghambat dia untuk kembali berkisah. Bunyi-bunyi jangkrik di sebelah rumah menjadi penyemarak suasana. Secangkir kopi hangat yang kubuat tadi tinggal setengah. Ubi rebus hasil manen di belakang rumah,  juga tinggal separuh dari aslinya.

“Jadi, kamu itu harusnya bersyukur, Nduk. Masa remajamu bisa kamu isi dengan ngumpul-ngumpul bersama teman-temanmu, dan juga bisa berkarya. Lah, zaman Mbah dulu  nggak sempet mau ngumpul, ngobrol, berkarya, apalagi ngerumpi. Yang ada malah lari-lari ke sana kemari. Nyari tempat sembunyi.” Si Mbah melanjutkan cerita. Sesekali matanya dipejam, seperti membayangkan kenangan masa remajanya dahulu.

“Terus kamu juga harus tahu, zaman dulu itu tidak ada namanya duduk leyeh-leyeh seperti sekarang. Kamu harus bekerja untuk para kompeni. Kamu bayangkan saja nduk, kita di jajah di tanah kita sendiri. Di paksa bekerja di bumi kita sendiri. Padahal kita ini bangsa pribumi.” Tegas Mbah lagi.  Warna suaranya menunjukkan kejengkelan. Aku mengernyit tidak mengerti. Apa maksud Si Mbah dengan kalimat terakhir tadi. Mungkin karena umurku yang terhitung masih cilik dan bacaanku juga masih komik, aku tidak mengerti maksud Si Mbah.

“Pribumi?” aku bertanya. “Peri yang tinggal di bumi ya, Mbah?” tanyaku polos tanpa rasa bersalah. Tapi tertutupi dengan rasa penasaran yang menggelitik di hati sambil berharap Mbah membalas tanyaku tadi.

“Huss, ngawur kuwe. Pribumi itu rakyat yang memang lahir di bumi itu, di tanah itu. Bahkan membesarnya juga di situ. Mbah, bapakmu, uwakmu itu orang pribumi. Termasuk kowe  juga, Nduk. Kita ini sama-sama terlahir dan membesar di bumi yang sedang kita pijak saat ini. Indonesia raya, si Ibu Pertiwi.” Terang Mbah dengan tegas. Wajahnya kembali melembut. Aku yang sadar dengan soalan konyol tadi, hanya membalasnya dengan meringis.

“Dengar ya, Nduk. Perjuangan dan pembelaan kami akan bumi pertiwi ini sudah lama berakhir. Tugas-tugas kami pun sudah usai. Hari ini kami melimpahkan semua tugas dan amanah ini kepada bangsa muda di negeri ini. Kami tahu, pemuda hari ini jauh lebih gagah, jauh lebih kuat. Tidak hanya fisik, otaknya juga. Kan kamu sudah sering mendengar beritanya di tivi? Jadi Nduk, esok atau lusa nasib bangsa ini, nasib rakyat pribumi ini berada di tanganmu. Jangan sampai bangsa asing itu mengambil tampuk kepemimpinan dari tanganmu. Cukup dahulu menjadi sejarah. Dan saat ini waktunya untuk pembuktian atas setiap perjuangan pahlawan dahulu. Kalau kamu tidak mampu melawan, setidaknya bertahan lah di depan pintu gerbang. Halangi setiap kemungkinan bahwa mereka akan kembali menyerang.” Mbah berpesan seolah-olah aku ini sudah siap untuk diberi amanah. Tapi pesan itu aku simpan rapat-rapat di dalam jiwaku. Aku sadar sekali akan kemampuanku untuk mewujudkannya, namun setidaknya pesan itu akan jadi penyemangatnya.

#30DWCJilid9 #Squad6 #Tulisan #Day22 #November #PesanMbah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Kamu Bahagia?

-Sister From Another Mom- Chapter III (Contemplation)

Siluet Pemberi Bahagia