Introvert, bukan hal buruk


Hasil gambar untuk personality mediator

Bismillahirohmanirrohim..

Sejak memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Jogja, aku mulai memikirkan banyak hal, menurutku. Diantaranya tentang diriku sendiri. Selama perjalanan, entah itu berawal dari rumah tempat kelahiranku, sampai di Pekanbaru, lalu di dalam pesawat menuju Jogja, aku tak berhenti untuk terus memikirkan diriku sendiri. bahkan saat sudah menjejakkan kaki di Jogja. Aku terus berpikir, apakah keputusan yang aku ambil ini sudah benar. Apakah aku sudah siap untuk melawati hari-hari ku di tanah rantau? Jauh dari orang tua dan keluarga. Apa aku sanggup memulai sebuah pertemanan dengan orang-orang baru? Apakah aku mampu?

Sepanjang waktu aku selalu dibayangi oleh hal-hal yang seperti itu. Mungkin sebagian orang berpikir aku terlalu berlebihan. Tidak, menurutku tidak. Aku begitu memikirkannya. Di saat aku merasa dan meyakinkan diri bahwa aku bisa melewati semua ini dengan sendiri, aku selalu dibenturkan dengan hal-hal yang membuatku harus berpikir kembali, bahwa aku butuh orang lain.

Dahulu aku pernah mengikuti sebuah tes kepribadian diri. Iseng sih awalnya. Cuma pengen tahu, aku tuh kepribadiannya seperti apa sih. Kalaupun tanpa diuji aku bisa menebak, kalau aku termasuk orang yang ekstro. Tapi aku tetap nyoba untuk ikutan tesnya secara online. Dan alhasil, memang benar. Aku memiliki kecendrungan ekstrovet meskipun tidak dominan.
Ya, untuk saat itu aku merasa cocok dengan kepribadian itu. Sebab orang-orang yang mengaku ekstro akan mudah diterima di mana saja. Karena dia pandai membawa diri dan mencairkan suasana. Aku akui itu. Tapi kembali lagi ke hasil tes tadi kalau aku tidak ekstro yang dominan. Artinya ada sisi kepribadianku yang juga intro.

Nah, semakin ke sini, di saat aku jauh dari keluarga dan teman-teman dekat, entah mengapa, sisi intro ku mulai tampak dominan. Aku tidak begitu mudah menjadi orang yang mengawali pertemanan. Kecuali jika memang mengharuskan untuk aku memulai. Aku juga tidak begitu berani untuk mencari orang-orang yang bisa kujadikan teman dekat. Aku selalu khawatir untuk berada di tahap yang seperti itu. Aku merasa, ya berteman sekadarnya saja. Tanpa harus menjadi dekat, atau sangat dekat. Padahal di satu sisi aku sangat membutuhkan teman dekat yang bisa membuatku nyaman dan bisa saling berbagi cerita.

Hari ini, aku sengaja membuka instagram salah seorang penulis yang menurutku bagus untuk diikuti tulisannya. Dalam sekejap mataku tertuju pada postingannya tentang introvert. Tak lengah, aku langsung membukanya dan membacanya dengan perlahan. Spontan hatiku mengiyakan apa yang telah tertulis di sana.

“Aku seorang introvert.”

Orang-orang bilang aku sombong. Kenyataannya, aku ingin berteman, tetapi rasa malu dan gelisah menahanku. Trauma pertemanan di masa lalu mengintaiku. Orang-orang bilang aku antisosial. Sebenarnya, aku ingin bergaul. Tetapi, setiap kali aku memulai pertemanan, aku selalu merasa tersisihkan. Pagar dan jarak yang terbangun di hadapanku. Pemikiran yang tak pernah sejalan. Candaan di luar batas.

Aku seperti orang luar yang tak tahu ke mana harus pulang. Teman terasa seperti formalitas. Jadi, aku berjalan sendirian, bersama kesepian sang teman lama. Orang-orang pasti kasihan melihatku. Ini memang berat dan menyedihkan. Tetapi, yang orang-orang tidak tahu: This loneliness has changed me. This loneliness is a blessing in disguise. Kesepian membantu menemukan diriku: lebih banyak waktu sendiri. mencari hobi-hobi baru. Melakukan hal-hal baru. Menemukan apa yang kusuka. Menjadikannya sebagai pekerjaan. Seperti menulis hal-hal seperti ini.

Kesepian mengajarkanku makna hidup. Sejatinya kita sendirian. Lahir sendiri, berjuang sendiri, mati sendiri. di luar sana, aku melihat orang-orang begitu bergantung pada cinta dan orang lain, lalu mereka tersakiti, mencari cinta baru, tersakiti lagi, begitu seterusnya.

Aku di sini, berteman dengan rasa sepiku, bertahan dan baik-baik saja, lalu menemukan sesuatu lebih kekal, pengharapan yang tak akan mengecewakanku, tujua hidup yang terarah dan terang.
Dan jika aku tak pernah menjadi introvert yang kesepian, mungkin aku tak akan berpikiran seperti ini, mungkin aku tak pernah bisa menulis ini. Nyatanya, kau duduk di hadapan ponselmu, membaca tulisan ini, tersenyum.

-Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui- (QS.2:216)

Apapun itu, choose to believe in Allah dengan prasangka yang baik.

Source: ig @alvisyhrn

Di sini aku merasa apa yang sudah dipostkan oleh Mas Alvi Syahrin sangat pas banget dengan kondisiku hari ini. Ya, introvert yang hari ini aku rasakan salah satu sebabnya adalah trauma pada pertemanan.

Dahulu aku pernah memiliki teman yang sangat dekat, menurutku. Saking dekatnya, apapun yang aku rasakan, alami, dan kutemukan, sudah pasti aku bagi padanya. Sampai tidak ada yang aku tutupi. Karena menurutku, begitulah seharusnya sebuah pertemanan. Namun semua berubah sejak dia memutuskan menikah. Aku serta merta memilih untuk menjaga jarak. Sebab tidak mungkin aku akan memperlakukan dia selayaknya dahulu masih sendiri. akan sangat berbeda, jauh berbeda.

Mulai saat itu aku juga berpikir, bahwa orang-orang yang berteman dekat adalah dia yang merasa sendiri. dia mencari orang lain untuk bisa menemani perjalanan hidupnya, sementara dia belum menemukan orang yang akan menemani perjalanan hidupnya sampai akhir nanti.

Ketika aku merasakan hal seperti itu, maka aku memutuskan untuk tidak lagi benar-benar dekat dengan siapapun. Sebab  suatu saat nanti, ketika mereka sudah menemukan seseorang yang akan menjadi pendampingnya, maka aku akan bersikap biasa saja. Tanpa harus merasa berat dalam melepaskan. Dan hal yang sama akan berlaku pada orang-orang yang dekat denganku, lalu akan aku tinggalkan suatu hari nanti.

Mulai hari itulah aku menjalani hari-hari dengan sendiri. maksudnya tidak dengan orang-orang yang benar-benar dekat. Aku lebih nyaman menyimpan apapun yang menurutku cukup untuk kusimpan, bukan untuk aku bagikan. Aku lebih tenang jika semua yang menurutku adalah beban kehidupan, aku ceritakan kepada Allah. Sebab, Dia lah yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk hambanya.

Meskipun di satu sisi aku juga butuh teman bicara, tapi aku tidak memaksa diri untuk mencari. Ya, sejauh ini aku merasa nyaman dalam keadaan seperti ini. Introvert bukanlah hal yang buruk. Justru aku akan jauh lebih mengenal diriku sendiri. jauh lebih tahu ukuran diriku seperti apa. Akan lebih sering mendengarkan suara hati, dibanding suara orang-orang di luar sana.

Maka kutegaskan, introvert bukan hal yang buruk. J

Btw, hari ini keisenganku untuk tes kepribadian menambah keyakinan kalau aku introvert. kali ini hasil dari tesnya adalah aku itu seorang INPF-T aka Mediator. huhuu.. apapun itu semoga tak menjadi penghalang untuk terus melakukan kebaikan dan perbaikan.


Mohon untuk selalu didoakaan~

Yogyakarta, 23 Oktober 2018
21.47

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Kamu Bahagia?

-Sister From Another Mom- Chapter III (Contemplation)

Siluet Pemberi Bahagia