Stasiun & Sebuah Kontemplasi

Sebuah kontemplasi yang kutemukan ketika berada dalam perjalanan menjemput adik kosku di stasiun lempuyangan. 

Penjemputan kali ini aku sangat terlambat. Biasanya aku berusaha untuk datang lebih cepat sebelum keretanya tiba di jogja. Nah kali ini, qadarulloh sebelum aku berangkat ada sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Agak sedikit ragu, karena nomor yang masuk bukanlah nomor pribadi melainkan nomor kantor.  Karena itu segeraku angkat. Dan rupanya panggilan ini berasal dari jasa layanan internet yang aku gunakan sejak beberapa bulan yang lalu. Sepanjang percakapan dapat aku tangkap bahwa maksud dari panggilan ini adalah menawarkan paket layanan terbaru. 

Ah, bukan aku tidak mau mendengar, tapi waktuku keburu habis. Kasihan adik kosku harus menunggu lama di stasiun. Dan tanpa mengurangi rasa hormatku terhadap mbak-mbak sales di seberang sana, aku pun bermaksud mengakhiri teleponnya. Dan disamping itu kupastikan juga kalau kemungkinan aku tidak akan mengambil kesempatan atas layanan yang dia tawarkan tadi. Berhubung di kos yang menggunakan layanan internet berbayar ini hanya berdua.

Usai telepon kumatikan, aku segera turun dan mengeluarkan motor dari garasi. Di saat akan kupanaskan, ada drama lagi. STNK! Aku lupa untuk membawanya. Tak ayal aku masuk, naik ke atas kamar dan mengambil. Huh! Sudah berapa menit waktu yang kulewatkan. Dan aku sedikitpun tidak melihat jam.

Selesai semuanya, segeraku hidupkan motor dan melesat ke jalan raya. Lalu apa yang terjadi setelah ini? Macet! Sepanjang jalan di depan kampus (karena aku memang melewati jalan ini) macet panjang terjadi. Dan itu semua didominasi oleh mobil. Kuingat-ingat lagi kalau ini hari senin. Terus hubungannya? Ya mungkin banyak yang baru masuk kantor. Biasalah awal pekan seperti ini. Ok, case closed.

Beruntung  Sepanjang jalan Ring Road tidak terlalu ramai, jadi aku bisa memacu dengan cepat. Tapi di saat memasuki daerah Gejayan perlahan jalanan mulai ramai kembali, tiba di lampu merah aku berhenti. Lumayan lama menunggu, akhirnya lampu hijau menyala. Aku segera melajukan motorku. Saat itu baru aku melirik jam yang melekat di pergelangan tangan. 10.15. What! Dan aku baru berada di depan UNY. Aku terus melajukan motor, kepadatan terus terjadi di perempatan lampu merah dan juga jalanan menuju stasiun. Pikiranku kembali dipenuhi dengan rasa bersalah, karena sudah pasti adik kosku telah tiba di jogja. Dan sudah menungguku terlalu lama. Aku gelisah!

Sepanjang jalan aku merutuk. Coba saja aku bisa lebih cepat. Coba saja tadi aku tidak mengangkat telpon. Ah dan semakin banyak “coba saja” yang berseliwaran di kepalaku. Namun seketika aku tersadarkan. Buat apa merutuki hal sudah terjadi. Tugasku sekarang adalah bagaimana supaya segera sampai di stasiun dalam keadaan selamat, dan menjemput adik kosku yang sudah lama menunggu.  Sudah itu saja kan? Meskipun aku tahu adik kosku akan merasa kesal sebab aku terlambat menjemput. Tapi aku yakin kalau dia tidak akan pergi kemana-mana. Kalau dia tetap akan menungguku di stasiun. Selama apapun perjalananku menujunya. Apalagi di antara kita sama sekali tidak ada yang memiliki paket internet ketika berada di luar kosan. Hanya berbekal chat kemaren sore, dia mengatakan akan pulang ke jogja seperti biasa. Pukul 10 sudah tiba di stasiun. Bahkan tadi pagi dia juga mengingatkan agar menjemput di tempat biasa. Pintu masuk stasiun. 

Ok, tapi poinnya mungkin tidak hanya di situ. Menurutku, dengan kontemplasi yang tiba-tiba muncul sepanjang jalan aku menjemput dia, aku seolah tersadarkan bahwa kondisi ini sama halnya dengan “seseorang yang sedang berjuang menuju seseorang yang lain yang juga sedang menunggunya untuk dijemput”. 
Ah ribet! Intinya ini adalah proses menjemput jodoh.

Hari ini aku seolah-olah bisa merasakan bagaimana ruwetnya jika seorang laki-laki memutuskan untuk menjemput seorang perempuan yang telah dianggap sebagai jodohnya. Ada begitu banyak hal yang merintanginya. Godaan sepanjang jalan sudah tentu tidak pernah luput. Tapi entah mengapa, dia selalu yakin bahwa ada seseorang yang istimewa di suatu tempat, sedang cemas juga gelisah menunggunya dengan sabar. Aku bisa merasakan itu. Tidak mudah memang ketika dia memutuskan untuk menjemput seseorang yang sudah diyakini sebagai jodohnya. Sepanjang jalan kurasa, dia membutuhkan keyakinan yang begitu kuat. Meinginkan dorongan-dorongan bahwa keputusannya sudah benar. Bahwa jalan yang sudah dipilihnya adalah jalan yang tepat. Bahwa apa yang sudah diputuskan tak luput dari dukungan semesta.

Di sini aku jadi merasa bahwa kelak, jika ada yang akan menjemputku entah siapapun orangnya, aku akan sangat-sangat berterima kasih. Sebab aku tahu, tidak mudah berada di posisinya. Harus melalui begitu banyak rintangan, godaan dan ujian. Keyakinannya pasti akan selalu dipertaruhkan. Karena bila dia tidak yakin, bisa saja dia memutuskan untuk berhenti di pertengahan jalan, lalu kembali ke asal, pulang. Tapi sekali lagi aku yakin, siapapun itu yang kelak akan memilih untuk menjemputku –dibanding yang lain-,  aku akan sangat bersyukur. Bersyukur sebab kesabarannya, sebab keyakinannya, telah memilih untuk berada di jalan ini dan menjemputku. 

Dan untuk siapapun yang sedang merasa menunggu sebuah “jemputan” itu, tetaplah bersabar. Cepat atau lambat, selama kamu yakin kehadiran seseorang itu pasti akan datangnya, maka bersabarlah. Bersabarlah dengan tetap melakukan yang terbaik. Hiraukan pandangan orang-orang yang memandang buruk padamu, acuhkan suara dari lisan-lisan orang yang mengatakan jelek perihalmu. Tapi buka matamu dan telingamu untuk hal-hal yang baik. Gerakkanlah lisanmu untuk yang baik-baik juga. Sederhananya, perbaikilah apapun itu yang seharusnya diperbaiki. Menunggu memang menghabiskan banyak waktu. Maka, habiskanlah waktu itu untuk hal-hal yang baik. Agar dia yang menjemputmu tidak kecewa. Sebab dia yang akan menjemputmu juga sedang berjuang menujumu. 

Menjemput dan menunggu itu memang dua kondisi yang berbeda. Teruntuk kamu yang akan menjemput, akan banyak godaan untuk membuatmu meragu. Sedang kamu yang menunggu, akan ada banyak ujian yang membuatmu tidak sabaran. Namun bila sejak awal sudah ada sebuah keyakinan yang menguatkan, maka kalian akan segera dipertemukan. Cepat atau lambat.

Terakhir, bila kontemplasi yang terkesan "kacau" ini tidak seperti dugaan kalian ketika membacanya di awal, mohon dimaafkan. Setidaknya aku hanya ingin berbagi dari sudut pandangku. Itu saja. Jika kalian punya sudut pandang yang berbeda, dan memaknai perihal menjemput dan menunggu yang berbeda pula, silahkan untuk berbagi dan mari saling mencerahkan.


Sun hangat, dari kota istimewa.
Yogyakarta, 10 Desember 2018.
Yang fakir ilmu
-Chan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Kamu Bahagia?

-Sister From Another Mom- Chapter III (Contemplation)

Siluet Pemberi Bahagia